#2. Beasiswa_BelandaGO
......................................
Bibit stress mulai berkembangg. Belum lagi sulitnya mencari pekerjaan meski sudah bergelar sarjana. Sayapun menambah jumlah pengangguran terdidik karena sampai Desember 2012 tidak memiliki pekerjaan tetap. Bulan November 2012, saya bekerja sebagai tukang Laundry dan penjaga Print. Lebih tepatnya sih mencoba keberuntungan dengan membuka usaha Laundry dan Prin bersama dua teman saya. Dengan modal sekitar 20juta, uang tabungan kami selama kuliah kami pertaruhkan demi masa depan yang lebih cerah; begitu ikrar kami pada waktu itu. Akhirnya kami nekat membuka peluang dan asa di bidang ini. Hasilnya?
Karena latar belakang saya, saya tidak mampu bertahan di dunia yang saya geluti ini. Januari 2013 saya berhenti, emm, mungkin cuti yah, dari pekerjaan ini. Pekerjaan ini membutuhkan banyak tenaga dan waktu untuk selalu standby di toko. Hal itu membuat saya susah bersentuhan dengan buku dan dunia tulis. Beruntunglah Desember 2012 tulisan saya sempat dimuat di Jurnal Internasional, Language Discourse and Society.
Akhirnya pada bulan Februari 2013, saya mengajar ESP di STIKES Kanjuruhan. Tapi hanya satu dua kali dalam seminggu. Yah hanya cukup untuk makan sehari-hari. Waktu saya banyak dihabiskan dikontrakan dengan masak, nonton, baca buku kadang-kadang, dan sesekali berolahraga. Tapi saya belum lupa dengan mimpi saya untuk kuliah ke luar negeri. Ditengah ketidakjelasan nasib, saya mencoba mencari info beasiswa lewat mbah google dan kolega yang sudah berangkat ke luar negeri. Tak lupa pula dengna rajin konsultasi dengan para dosen.
Oiya, ada yang lupa, September 2012 saya daftar Erasmus Mundus yang Master Program, tapi tidak lulus.
Sekitar bulan Maret 2013, saya mendaftar ke beberapa universtas di Asutralia dan Inggris untuk mendapatkan LoA. Katanya kalau sudah punya LoA akan lebih mudah. Pada April 2013 saya mendapatkan tiga Letter of Offer (Conditional Acceptance) dari tiga Universitas dengan condition di IELTS. Ketiga Univ itu adalah Canberra University Australia, Bonn University Australia, dan Southampton University, UK. Rasanya senang sekali dan berasa satu kaki sudah di luar negeri.
Bulan Mei 2013, ada teman yang mengabari beasiswa baru, namanya LPDP. Saya mendaftar beaiswa LPDP dan lolos wawancara di bulan Juni. Waktu itu saya memilih lokasi di Jakarta dengan asumsi akan diberikan biaya akomodasi, sekalian pengen tau Jakarta. Dan betapa menyesalnya setelah tahu bahwa tidak ada biaya akomodasi dari LPDP. Gubrak!!! Y sudahlah saya terpaksa berangkat ke Jakarta demi cita2 kuliah ke luar negeri. Ketika wawancara saya ditanya “Kug TOEFL segini mau ke luar negeri? Gak cukup mas, minimal 550 dunks”. Dalam hati saya juga bertanya, saya juga gak tau pak kug bisa saya lolos sampe wawancara kalo aturannya minimal 550 untuk lulus seleksi dokumen. Tapi saat itu saya hanya bilang saya akan memperbaikinya jika diberikan kesempatan. Wawancara itu berjalan sekitar 30-45 menit. (bahasan lengkap wawancaranya di LPDP: Sebuah Pengalaman Berharga).
Dan benar setelah tiba saat pengumuman, nama saya tidak ada dalam daftar penerima beasiswa LPDP. Tapi saya tidak putus asa. Saya mengerti kenapa saya tidak layak menerima beasiswa itu. Ya. Karena nilai bahasa Inggris saya belum masuk kategori standard mumpuni. Daripada saya nanti kewalahan dengan perkuliahan di luar negeri dan malu-maluin. Lebih baik saya tidak di terima dulu deh.
Bulan Juni saya tidak lolos LPDP. Bulan juli saya kembali berjuang mendaftar Australian Awards Scholarship (dulunya Australian Developments Scholarship). Beasiswa ini relatif lebih logis bagi saya untuk lolos dan besar peluang di terimanya karena persyaratan TOEFL nya hanya 500. Waktu itu score TOEFL cukup untuk mendaftar beasiswa ini. Saya cukup yakin bisa minimal lolos seleksi dokumen/pemberkasan. Form aplikasi saya sudah saya persiapkan sejak bulan Maret karena jumlah lembar yang harus diisi lumayan banyak. Termasuk yang cukup berat adalah ketika menuliskan essay seputar komitment belajar dan tujuan belajar, kontribusi, dan pandangan terhadap permasalahan di Indonesia terkait bidang yang akan kita ambil.
Menunggu pengumuman kelulusan dokumen masih lama. Sekitar 3-4 bulan setelah pengumpulan dokumen. Sayapun belum memilki pekerjaan tetap. Umur pengangguran saya seudah mendekati satu tahun. Semakin galau nan risau apa hendak dikata pada orang tua, tetangga, dan orang-orang yang menaruh banyak harapan pada beta. Huuuuu..,. pusing poll pokoknya.
Saya kembali ke kontrakan saya di malang. Menghabiskan Juli dan Agustus sebagaia pengangguran. Teman-teman saya sudah mulai kesal dan menyuruh saya untuk mendaftar kuliah. Saya bilang keluarga saya tidak cukup untuk membiayai. Saya hanya mau kuliah hanya kalau dapat beasiswa. Kemudian mereka menyuruh saya untuk mendafatar beasiswa dalam negeri. Saya merespon santai “Kalau bisa keluar negeri, kenapa gak keluar aja sekalian, toh sama-sama beasiswa kan”. Itu perinsip saya. Yang akhirnya membuat semangat itu tetap ada. Sesekali saya menatap peta dunia yang sudah saya coret dan menuliskan rute perkuliahan saya. Dari pulau madura, saya menarik garis lurus (gak lurus2 amat she sebenarnya,, he) menuju UK, tepatnya Lancaster University sebagai tujuan dari pendidikan saya ditingkat Magister. Peta itu berada di ruang tamu kontrakan. Bersamaan dengan peta EROPA milik teman kontrakan saya yang melingkari kota paris dan kampus Sorbonne dengan spidol merah, dengan mimpi bisa menginjakkan kaki di altar suci ilmu pengetahuan Eropa. Tepat di sebelah peta kami, ada streofon dengan gambar-gambar mimpi teman saya yang lain, rekening dengan tabungan diatas 1M, studio musik, mobil rumah, kamera. Raja Ampat, dlll. Yah itu lah sekilas kondisi kontrakan saya. Tempat saya dan teman-teman bermimpi.
Setelah lebaran Idul Fitri, sekitar bulan September, ada teman saya yang sms memberikan informasi beasiwa Short Course Pembibitan Alumni PTAI. Saya pun mulai browsing info beasiswa ini karena belum pernah tahu sebelumnya. Selain itu saya juga berkonsultasi dengan senior dan dosen terkait beasiswa ini, mulai rekruitmen, persyaratan, visi misinya, dan orientasi jangka panjang. Setelah mendapatkan pencerahan, sayapun mendaftar. Aplikasi saya kirim sekitar 3 hari sebelum deadline. Itupun terpaksa saya kirim meski belum mendapatkan rekomendasi. Akhirnya pada Oktober saya dipanggil untuk mengikuti Interview di Surabaya, di IAIN Sunan Ampel yang sekarang sudah berubah menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Saya berangkat pada pagi hari di hari wawancara dari Malang. Sekitar pukul 05.00 karena jadwal wawancara pukul 08.00. saya tiba di lokasi sekitar pukul 07.20. Namun sampai dengan pukul 08.00, belum ada panitia yang datang. Saya pun menunggu sambil ngobrol ringan dengan beberapa teman yang akan wawancara juga di hari itu. Rata-rata mereka sudah bekerja ada juga yang baru saja wisuda bulan Juni kemarin. Hum, ngobrolin pekerjaan agak sensitif buat saya. Okay pukul 09.00 wawancara baru di mulai. Satu persatu peserta dipanggil masuk kedalam ruangan seluas 3x4 dengan dua pewawancara. Sayapun akhirnya mendapat giliran masuk setelah menunggu hingga urutan ke 8. Di dalam ruangan tampak sunyi, saya seperti menghadapi ujian kelulusan kuliah, AC yang dinginpun belum mampu membuat keringat di badan tanda grogi berhenti mengalir. Satu dua menit berlalu, sayapun mulai bias rileks dan menjawab beberapa pertanyaan dari para interviewer.
Wawancara berjalan sekitar 30 menit (selengkapnya akan saya tulis di bagian berikutnya). Dan wawancarapun selesai. Setelah makan siang siang. Saya bertolak kembali ke Malang.
......lanjut ke bagian 3....
FInally: Netherlands I am coming
......................................
Bibit stress mulai berkembangg. Belum lagi sulitnya mencari pekerjaan meski sudah bergelar sarjana. Sayapun menambah jumlah pengangguran terdidik karena sampai Desember 2012 tidak memiliki pekerjaan tetap. Bulan November 2012, saya bekerja sebagai tukang Laundry dan penjaga Print. Lebih tepatnya sih mencoba keberuntungan dengan membuka usaha Laundry dan Prin bersama dua teman saya. Dengan modal sekitar 20juta, uang tabungan kami selama kuliah kami pertaruhkan demi masa depan yang lebih cerah; begitu ikrar kami pada waktu itu. Akhirnya kami nekat membuka peluang dan asa di bidang ini. Hasilnya?
Karena latar belakang saya, saya tidak mampu bertahan di dunia yang saya geluti ini. Januari 2013 saya berhenti, emm, mungkin cuti yah, dari pekerjaan ini. Pekerjaan ini membutuhkan banyak tenaga dan waktu untuk selalu standby di toko. Hal itu membuat saya susah bersentuhan dengan buku dan dunia tulis. Beruntunglah Desember 2012 tulisan saya sempat dimuat di Jurnal Internasional, Language Discourse and Society.
Akhirnya pada bulan Februari 2013, saya mengajar ESP di STIKES Kanjuruhan. Tapi hanya satu dua kali dalam seminggu. Yah hanya cukup untuk makan sehari-hari. Waktu saya banyak dihabiskan dikontrakan dengan masak, nonton, baca buku kadang-kadang, dan sesekali berolahraga. Tapi saya belum lupa dengan mimpi saya untuk kuliah ke luar negeri. Ditengah ketidakjelasan nasib, saya mencoba mencari info beasiswa lewat mbah google dan kolega yang sudah berangkat ke luar negeri. Tak lupa pula dengna rajin konsultasi dengan para dosen.
Oiya, ada yang lupa, September 2012 saya daftar Erasmus Mundus yang Master Program, tapi tidak lulus.
Sekitar bulan Maret 2013, saya mendaftar ke beberapa universtas di Asutralia dan Inggris untuk mendapatkan LoA. Katanya kalau sudah punya LoA akan lebih mudah. Pada April 2013 saya mendapatkan tiga Letter of Offer (Conditional Acceptance) dari tiga Universitas dengan condition di IELTS. Ketiga Univ itu adalah Canberra University Australia, Bonn University Australia, dan Southampton University, UK. Rasanya senang sekali dan berasa satu kaki sudah di luar negeri.
Bulan Mei 2013, ada teman yang mengabari beasiswa baru, namanya LPDP. Saya mendaftar beaiswa LPDP dan lolos wawancara di bulan Juni. Waktu itu saya memilih lokasi di Jakarta dengan asumsi akan diberikan biaya akomodasi, sekalian pengen tau Jakarta. Dan betapa menyesalnya setelah tahu bahwa tidak ada biaya akomodasi dari LPDP. Gubrak!!! Y sudahlah saya terpaksa berangkat ke Jakarta demi cita2 kuliah ke luar negeri. Ketika wawancara saya ditanya “Kug TOEFL segini mau ke luar negeri? Gak cukup mas, minimal 550 dunks”. Dalam hati saya juga bertanya, saya juga gak tau pak kug bisa saya lolos sampe wawancara kalo aturannya minimal 550 untuk lulus seleksi dokumen. Tapi saat itu saya hanya bilang saya akan memperbaikinya jika diberikan kesempatan. Wawancara itu berjalan sekitar 30-45 menit. (bahasan lengkap wawancaranya di LPDP: Sebuah Pengalaman Berharga).
Dan benar setelah tiba saat pengumuman, nama saya tidak ada dalam daftar penerima beasiswa LPDP. Tapi saya tidak putus asa. Saya mengerti kenapa saya tidak layak menerima beasiswa itu. Ya. Karena nilai bahasa Inggris saya belum masuk kategori standard mumpuni. Daripada saya nanti kewalahan dengan perkuliahan di luar negeri dan malu-maluin. Lebih baik saya tidak di terima dulu deh.
Bulan Juni saya tidak lolos LPDP. Bulan juli saya kembali berjuang mendaftar Australian Awards Scholarship (dulunya Australian Developments Scholarship). Beasiswa ini relatif lebih logis bagi saya untuk lolos dan besar peluang di terimanya karena persyaratan TOEFL nya hanya 500. Waktu itu score TOEFL cukup untuk mendaftar beasiswa ini. Saya cukup yakin bisa minimal lolos seleksi dokumen/pemberkasan. Form aplikasi saya sudah saya persiapkan sejak bulan Maret karena jumlah lembar yang harus diisi lumayan banyak. Termasuk yang cukup berat adalah ketika menuliskan essay seputar komitment belajar dan tujuan belajar, kontribusi, dan pandangan terhadap permasalahan di Indonesia terkait bidang yang akan kita ambil.
Menunggu pengumuman kelulusan dokumen masih lama. Sekitar 3-4 bulan setelah pengumpulan dokumen. Sayapun belum memilki pekerjaan tetap. Umur pengangguran saya seudah mendekati satu tahun. Semakin galau nan risau apa hendak dikata pada orang tua, tetangga, dan orang-orang yang menaruh banyak harapan pada beta. Huuuuu..,. pusing poll pokoknya.
Saya kembali ke kontrakan saya di malang. Menghabiskan Juli dan Agustus sebagaia pengangguran. Teman-teman saya sudah mulai kesal dan menyuruh saya untuk mendaftar kuliah. Saya bilang keluarga saya tidak cukup untuk membiayai. Saya hanya mau kuliah hanya kalau dapat beasiswa. Kemudian mereka menyuruh saya untuk mendafatar beasiswa dalam negeri. Saya merespon santai “Kalau bisa keluar negeri, kenapa gak keluar aja sekalian, toh sama-sama beasiswa kan”. Itu perinsip saya. Yang akhirnya membuat semangat itu tetap ada. Sesekali saya menatap peta dunia yang sudah saya coret dan menuliskan rute perkuliahan saya. Dari pulau madura, saya menarik garis lurus (gak lurus2 amat she sebenarnya,, he) menuju UK, tepatnya Lancaster University sebagai tujuan dari pendidikan saya ditingkat Magister. Peta itu berada di ruang tamu kontrakan. Bersamaan dengan peta EROPA milik teman kontrakan saya yang melingkari kota paris dan kampus Sorbonne dengan spidol merah, dengan mimpi bisa menginjakkan kaki di altar suci ilmu pengetahuan Eropa. Tepat di sebelah peta kami, ada streofon dengan gambar-gambar mimpi teman saya yang lain, rekening dengan tabungan diatas 1M, studio musik, mobil rumah, kamera. Raja Ampat, dlll. Yah itu lah sekilas kondisi kontrakan saya. Tempat saya dan teman-teman bermimpi.
Setelah lebaran Idul Fitri, sekitar bulan September, ada teman saya yang sms memberikan informasi beasiwa Short Course Pembibitan Alumni PTAI. Saya pun mulai browsing info beasiswa ini karena belum pernah tahu sebelumnya. Selain itu saya juga berkonsultasi dengan senior dan dosen terkait beasiswa ini, mulai rekruitmen, persyaratan, visi misinya, dan orientasi jangka panjang. Setelah mendapatkan pencerahan, sayapun mendaftar. Aplikasi saya kirim sekitar 3 hari sebelum deadline. Itupun terpaksa saya kirim meski belum mendapatkan rekomendasi. Akhirnya pada Oktober saya dipanggil untuk mengikuti Interview di Surabaya, di IAIN Sunan Ampel yang sekarang sudah berubah menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Saya berangkat pada pagi hari di hari wawancara dari Malang. Sekitar pukul 05.00 karena jadwal wawancara pukul 08.00. saya tiba di lokasi sekitar pukul 07.20. Namun sampai dengan pukul 08.00, belum ada panitia yang datang. Saya pun menunggu sambil ngobrol ringan dengan beberapa teman yang akan wawancara juga di hari itu. Rata-rata mereka sudah bekerja ada juga yang baru saja wisuda bulan Juni kemarin. Hum, ngobrolin pekerjaan agak sensitif buat saya. Okay pukul 09.00 wawancara baru di mulai. Satu persatu peserta dipanggil masuk kedalam ruangan seluas 3x4 dengan dua pewawancara. Sayapun akhirnya mendapat giliran masuk setelah menunggu hingga urutan ke 8. Di dalam ruangan tampak sunyi, saya seperti menghadapi ujian kelulusan kuliah, AC yang dinginpun belum mampu membuat keringat di badan tanda grogi berhenti mengalir. Satu dua menit berlalu, sayapun mulai bias rileks dan menjawab beberapa pertanyaan dari para interviewer.
Wawancara berjalan sekitar 30 menit (selengkapnya akan saya tulis di bagian berikutnya). Dan wawancarapun selesai. Setelah makan siang siang. Saya bertolak kembali ke Malang.
......lanjut ke bagian 3....
FInally: Netherlands I am coming