Hingga akhirnya di pertengahan tahun 2013, sekitar 7 bulan sejak saya lulus, dengan puluhan aplikasi yang gagal di administrasi, saya mendapatkan kesempatan mencicipi atmosfer interview beasiswa luar negeri. Program yang saya ikuti adalah Beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dibawah kementrian Keuangan, Pendidikan,dan Agama.
Waktu itu adalah bulan Mei 2013 ketika saya mendaftar beasiswa LPDP. Tepat setelah 2-3 minggu submit dokumen, pengumuman kelulusan seleksi administrasi terpampang di laman LPDP (www.lpdp.depkeu.go.id). Kemudian saya mengunduh file pengumuman tersebut untuk mencari nama saya. Dan benar, Alhamdulillah nama saya terdaftar sebagai calon peserta seleksi wawancara LPDP.
Pada saat itu, lokasi wawancara hanya berpusat di beberapa kota saja; Jakarta, Yogjakarta, Makassar, dan Medan (kalau saya tidak salah). Saya memilih Jakarta sebagai pelabuhan peraduan nasib. Saat itu yang terlintas ketika memilih Jakarta adalah keingintahuan saya pada kota Jakarta, ibu kota Indonesia yang terkenal itu. Dengan asumsi, biaya transportasi sepenuhnya ditanggung LPDP sebagaimana cerita teman saya yang menerima beasiswa dari Fulbright.
Namun ternyata itu hanya asumsi saya belaka. Skema beasiswa LPDP berbeda. Dana transportasi dan akomodasi sepenuhnya ditanggung peserta. Seketika itu juga saya merasa menyesal yang amat mendalam, karena harus merogok gocek lebih dalam lagi untuk baiya keberangkatan saya ke Jakarta dan selama saya disana (waktu itu jadwalnya dua hari, selasa dan rabu). Seandainya saya memilih Yogjakarta, pasti saya bisa lebih menghemat. Tempat tinggal bisa numpang teman dulu. Kebetulan ada senior kuliah di UGM.
Namun demi mimpi, dan saya juga mengerti pasti peta persaingan di Jakarta akan lebih berat, saya memaksakan diri ke Jakarta. Di Jakarta saya nebeng di teman yang mendapatkan beasiswa S1 di Paramadina. Saya kenal dia waktu PKLI di Sidoarjo awal tahun 2012. Beruntunglah saya mendapatkan penginapan selama di Jakarta.
Huuu.,.,. tentang kota Jakarta, kota ini padat sekali. Kota hidup, tak pernah mati, tak pernah sepi dari antrian kendaraan yang lalu lalang.
Selasa pagi, hari pertama pembukaan interview LPDP, saya bersiap2 dari Mampang menuju kantor LPDP yang berada di Jakarta Pusat. Pukul 05.00 pagi saya sudah keluar menuju jalan utama di Mampang, tepat di depan gedung Blue Bird Mampang. Betapa terkejutnya saya melihat lautan kendaraan padahal masih pagi banget. Akhirnya saya memutuskan untuk naik ojek ke Jakarta pusat menuju kantor LPDP karena takut terlambat. Setelah tawar menawar dengan tukang ojek, 25 ribu menjadi harga yang kami sepakati. Lumayan lah. Makan sayur dengan lauk tahu tempe aja harus bayar 15rb kan!!.
Pukul 07.00 pagi saya tiba di lokasi. Kantor LPDP tampak sepi. Saya masuk dan duduk di ruang tunggu. Sembari menunggu, saya melihat-lihat kantor LPDP yang berada di dalam area kantor Kemenkeu. Melihat koleksi uang-uang kuno dan arsip-arsip sejarah keuangan Indonesia. Sayapun menyempatkan ke kamar mandi dan berwudlu. Kemudian diam di mushalla yang berada di lantai 1. Jam 8 masih sejam lagi. Masih cukup lama untuk menunggu. Belum lagi kalau diundur dari jadwal yang telah ditetapkan, bisa jadi pukul 9 baru dimulai kan. Jadi saya sempatkan untuk shalat Dhuha dulu 6 rakaat. Selang beberapa menit, ada calon peserta juga yang mulai berdatangan. Beberapa dari meraka ada yang duduk di ruang tunggu dan saling mengobrol, ada juga yang ke mushalla untuk shalat. Ahhirnya di mushalla itu ada 3 orang termasuk saya. Saya baca Al Quran sebentar; surah Waqiah, Ar Rahman, As Sajadah dan Al Mulk. Kemudian saya bergabung dengan beberapa calon peserta yang mulai memadati ruang tunggu.
Sekitar pukul 9 (benar dugaan saya, molor) kami dipersilahkan untuk menuju lantai dua, mengikuti pembukaan. Setelah pembukaan usai, saya dan teman-teman dipersilahkan melihat jadwal interview masing-masing. Waktu itu saya kebagian hari rabu, esok harinya. Tetapi karena saya ingin cepat kembali ke Malang, saya mencoba menego dengan panitia. Panitia hanya menyarankan untuk menunggu, berharap ada peserta yang tidak hadir atau cepat proses interviewnya sehingga jadwal saya bisa maju.
Saya pun menunggu hingga sore. Sekitar pukul 5 sore, akhrinya saya bisa interview di hari itu juga, saya dipersilahkan untuk masuk kedalam ruangan. Sebelum interview, saya sempatkan untuk bertanya pada teman yang sudah masuk sebelum saya, saya juga rajin mendengarkan cerita mereka setelah keluar dari ruang interview.
Saya masuk ke ruangan ber AC, dengan meja Bundar, dan 3 Interviewer yang duduk tegap lengkap dengan dokumen saya yang mereka review serta laptop di depannya yang sepertinya digunakan untuk mencocokkan data. Terdapat tiga orang pewawancara di ruangan tersebut, seorang wanita dengan kerudung biru dan kacamata; beliau adalah Psikolog, dan dua orang lelaki usia 45 tahunan yang merupakan pakar pendidikan. Saya ingat waktu itu beliau masing-masing berasal dari UI, UNHAS, dan UPI.
Saya masuk dengan mengucapkan salam, kemudian saya duduk menghadap para interviewers, tepat di tengah-tengahnya. Pertanyaan pertama yang diajukan oleh pewawancara dari UI, seorang Psikolog “Siapa namanya mas?, ayo perkenalkan diri anda”. Saya pun memperkenalkan diri saya, latar belakang keluarga, pendidikan, dan aktifitas sehari-hari. Selanjutnya pertanyaan bertubi-tubi datang dari ketiga interviewer tersebut saling bergantian. Ini adalah pertamakalinya saya interview, pertamakalinya lolos interview beasiswa. Saya benar-benar canggung. Banyak kritikan dan saran serta pertanyaan yang tidak bisa saya jawab dengan baik.
Beberapa pertanyaan yang kala itu menyudutkan saya dan diluar dugaan adalah “Loe, kamu kug dafar di kampus X (sengaja tidak saya sebutkan), ini kampus kan sedang turun daun (padahal waktu itu kampus ini masuk dalam list LPDP), gak popular. Ya sangat mudah untuk mendapatkan Offer dari kampus seperti ini. Kug gak milih di UK ato USA aja” “Toefl nya kug Cuma segini mas, minimal 550 dunks kalo ingin kelaur negeri, gak bisa ini” spontan saya bingun menjawab ketika statementnya menyatakan kampus saya tidak popular dan kampus nomor 3. Waktu itu saya hanya menjawab bahwa banyak perofesor dan penelitian disanan bagus sehingga banyak mahasiswa internasional yang belajar disana.
Untuk TOEFL, saya juga tidak tahu mengapa kahirnya bisa lolos ke tahap interview, padahal di persyartan emang uda jelas 550. Score saya kurang beberapa angka. Tapi ya sudahlah….Kemudian bapak itu langung menghujani saya dengan pernyataann2 yang menjatuhkan mental, huuuu.,., waktu itu saya memang kurang siap sepertinya,,, mengatakan kampus saya kampus abal-abal gak jelas jadi bingung jawabnya.
Selanjutnya ada yang menanyakan “Siapa aja ahli Linguistik Indonesia yang anda kenal”. Saya jawab beberapa orang yang saya kenal, tetapi tidak lebih dari 5, hummm minim sekali ya. “Bagaimana anda bisa mencintai Indonesia kalau hanya itu yang anda kenal” “Apa tidak ada Linguist di Indonesia ……. dan seterusnya.”
Meski akhrinya saya tidak lolos wawancara saat itu, saya ingin berbagi pengalaman. Okay deh saya simpulkan beberapa pertanyaan yang saya dapat waktu itu. Secara garis besar ada 4:
1. Tentang pribadi kita dan keluarga
2. Tentang akademik dan riset kita
3. Tentang kontribusi bidang keilmuan kita bagi Indonesia
4. Tentang nasionalisme dan keindonesiaan
Secara lebih detail kurang lebih seperti berikut:
a. Perkenalkan diri anda
b. Deskripsikan latar belakang anda, keluarga, dan aktifitas baik dalam profesi maupun masyrakat
c. Berikan alasan kemana anda akan studi, dikampus apa, jurusan apa (kenapa memlilih kampus dan jurusan X, jika linear mungkin lebih mudah)
d. Seberapa besar kemungkinan anda akan sukses di perguruan tinggi yang anda pilih
e. Apa tantangan terbesar yang akan anda hadapi ketika belajar di luar negeri
f. Apakah anda siap dengan model pembelajaran luar negeri
g. Berikan dan jelaskan kekurangan dan kelebihan anda (ne orang psikolog yang nanya, hum dilematis banget seh)
h. Jelaskan kontribusi bidang studi yang anda ambil bagi masyarakat Indonesia, bagi ilmun pengetahuan di Indonesia, dan kemjajuan negeri ini.
i. Apakah anda akan kembali ke Indonesia setelah selesai kuliah, bagaimana jika ada yang menawarkan pekerjaan disana, di luar negeri, dengan gaji yang tinggi, bagaimana jika kepincut orang bule disana (ne bagi yang belum nikah si pertanyaannya, karena saya belum nikah hee)
So guys,,,, demikian cerita saya kali ini. Bagi saya pengalaman interview tersebut sangat berharga. Saya banyak belajar dari pengalaman ini, meski saya tidak lolos interview LPDP tahun itu, Alhamdulillah saya bisa lolos di periode berikutnya. Saya bergabung di PK15, PK paling berkilau "Kilau Indonesi, Cita Kita". Pengalaman Interview dan LGD pada seleksi LPDP berikutnya saya tulis di Pengalaman Interview dan LGD LPDP. Pengalaman Gagal hingga akhirnya Lolos LPDP untuk studi di Radboud University Nijmegen saya bagi di My Map, My Journey, My Dream
Pengalaman adalah Guru Terhebat